Terasering adalah bangunan konservasi tanah dan
air secara mekanis yang dibuat untuk memperpendek panjang lereng dan atau
memperkecil kemiringan lereng dengan jalan penggalian dan pengurugan tanah
melintang lereng. Tujuan pembuatan teras adalah untuk mengurangi kecepatan
aliran permukaan (run off) dan memperbesar peresapan air, sehingga
kehilangan tanah berkurang (Sukartaatmadja 2004).
Terdapat berbagai cara mekanik dalam menahan erosi air dan
angin. Cara utama adalah dengan membentuk mulsa tanah dengan cara menyusun
campuran dedaunan dan ranting pohon yang berjatuhan di atas tanah; dan
membentuk penahan aliran air, misalnya dengan membentuk teras-teras di
perbukitan (terasering) dan pertanian berkontur.
Alam Pulau Flores di Nusa Tenggara Timur yang berbukit dan bergunung-gunung
memiliki karakter khas yang bertolak belakang. Meski musim kemaraunya lebih
panjang—sekitar delapan bulan setahun—ketika memasuki musim hujan, curah hujan
yang tinggi acapkali memicu bencana longsor dan banjir.
Harap maklum. Ketika kemarau, umumnya karakter tanah di daerah dengan kemiringan tertentu mengering. Butiran tanah lepas dan tanah-tanah merekah. Akibatnya, begitu musim hujan datang, air hujan yang mengguyur sering kali membuat tebing-tebing runtuh, dan terjadilah banjir dan longsor.
Ancaman erosi ini bukan hanya mengancam sumber pangan dan kekayaan alam, melainkan juga keselamatan manusia. Itu sebabnya, guna mencegah erosi, terutama di daerah dengan kemiringan tertentu atau daerah yang punya aliran sungai, penduduk umumnya mengonservasi tanah dengan sistem terasering.
Model persawahan terasering di Flores antara lain dapat dijumpai di Desa Waturaka, Kecamatan Kelimutu, Kabupaten Ende, sekitar 45 kilometer dari kota Ende. Persawahan terasering mudah dijumpai di Kabupaten Ngada, Manggarai, Mbay, dan Nagekeo, semuanya di Pulau Flores.
Terasering merupakan bangunan konservasi tanah, teras-teras yang dibuat sejajar dengan garis kontur alam yang dilengkapi dengan saluran peresapan, saluran pembuangan air, dan tanaman penguat teras yang berfungsi sebagai pengendali erosi.
Dengan panorama sangat indah, hawa sejuk, dan udara yang bersih, tanaman padi yang menghijau tumbuh subur di sana bersanding dengan beberapa pohon kelapa yang menjulang. Demikian juga sejumlah lahan bisa ditanami sayur, termasuk tomat. Padi sawah di Waturaka itu tertata rapi berhektar-hektar dalam sistem terasering bertingkat-tingkat.
”Alam seperti di Flores yang berbukit-bukit dan curam, dengan tingkat kemiringan 45-65 derajat, memang yang cocok dengan pertanian model persawahan terasering,” kata mantan Kepala Dinas Pertanian Sikka Viator Parera.
Terasering yang menonjol dapat dijumpai di Ende, Ngada, atau Manggarai. Di kawasan Waturaka dapat pula dijumpai model terasering di Desa Wologai, Kecamatan Detusoko, Ende.
Luas tanaman padi sawah di desa ini mencapai 120 hektar, yang seluruhnya dibuat dengan sistem terasering. Bentuk persawahan semacam ini untuk ukuran desa tergolong paling luas di Ende, yang mempunyai total areal padi sawah 6.000 hektar.
Sekitar 60 persen areal tanaman sawah di Ende dibuka di tanah datar, sebagian besar terletak di Kecamatan Wewaria, Maurole, Maukaro, dan Kotabaru. Adapun sawah model terasering sekitar 40 persen di antaranya terdapat di Kecamatan Detusoko, Kelimutu, Detukeli, dan Ndona Timur.
”Sawah dengan terasering di desa ini sudah dibuka sekitar tahun 1955 pada masa Raja Lio dan tetap dipertahankan sampai kini dengan ditanami padi lokal Mbongawani Ekoleta,” kata Kepala Desa Wologai Blasius Don Bosco Satu.
Blasius menceritakan, awal mula dibuka persawahan di Wologai atas permintaan Raja Lio karena daerah tersebut memiliki tanah yang subur, banyak sungai, dan iklim yang cocok untuk padi sawah.
Berhubung daerah ini terletak di dataran tinggi, sebagai penahan air dibuatlah terasering. Titik tertinggi terasering di Wologai dibuat antara 800 meter dan 906 meter di atas permukaan laut. Awalnya, pembuatan terasering dengan alat yang sederhana, yaitu menggunakan tofa (semacam linggis) yang terbuat dari kayu.
Penduduk Desa Wologai yang berjumlah 749 jiwa dari 220 keluarga mayoritas adalah petani, yang terdiri dari 8 kelompok dengan anggota 141 orang.
Sampai saat ini, penduduk Wologai tetap mempertahankan budidaya padi sawah karena mereka juga mempertimbangkan aspek kelestarian alam.
Sebetulnya mereka amat memungkinkan beralih ke komoditas lain, seperti tanaman hortikultura atau tanaman perdagangan. Namun, yang dikhawatirkan, dari kondisi tanah sawah yang berlumpur, jika budidaya berganti dengan tanaman perdagangan, maka begitu masuk musim kemarau tanah akan kering dan merekah. Ketika hujan datang longsor pun mengancam.
Dengan budidaya padi sawah, tanah akan selalu basah karena senantiasa dialiri air, dan terasering turut menekan limpasan air dari gunung ke hilir. Budidaya padi sawah yang masih tetap lestari juga tak lepas dari masih taatnya masyarakat pada adat. Ketika mosalaki (tetua adat) mengawali menanam padi lewat upacara adat Paki Tana, semua masyarakat akan menurut. Begitu pula di kala panen, mosalaki akan mengawali lebih dulu.
Kepala Bidang Konservasi Sumber Daya Alam Produksi Tanaman Pangan dan Hortikultura, Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Peternakan Kabupaten Ende, Karel Kabesa Raya, mengatakan, dalam pertanian lahan kering dan basah mutlak dilakukan konservasi tanah dan air, salah satunya dengan terasering.
”Apalagi seperti di Ende yang banyak daerah kemiringan, semakin terjal, teraseringnya juga makin tinggi. Terasering selain berguna untuk mencegah erosi juga menyiapkan media tanam,” kata Karel.
Padi sawah dengan model terasering juga dapat dijumpai di sejumlah titik di wilayah Kabupaten Ngada, Flores, antara lain di Desa Nabelena, Kecamatan Bajawa Utara. Total padi sawah di Ngada sekitar 5.000 hektar.
Menurut Kepala Dinas Pertanian Perkebunan dan Peternakan Kabupaten Ngada Laurensius Ngiso Godja, terasering banyak dibuat di Kecamatan Golewa. Arealnya mencapai 400 hektar sebab di daerah itu tersedia cukup air meski berada di kemiringan. Memang ada pula di tempat lain, seperti Riung, Soa, dan Bajawa Utara, tapi tidak seluas yang di Golewa,” kata Laurensius.
Sementara itu, Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Manggarai Vinsen Marung mengemukakan, penerapan terasering di Manggarai difokuskan pada lahan untuk pengembangan tanaman sayur dan buah-buahan atau hortikultura.
Kepala Desa Wologai Blasius Don Bosco Satu juga mengungkapkan, selama di desa itu menerapkan terasering, sampai saat ini masyarakat setempat dapat terhindar dari bencana banjir dan longsor.
Mereka panen padi dua kali setahun, yakni pada bulan Desember-Februari dan bulan Juli-Agustus. Tingkat produksi rata-rata 6,3 ton per hektar. Masa panen padi lokal jenis ini memang relatif lama, yakni 5-6 bulan. Ada empat macam varietas Mbongawani Ekoleta, yakni yang putih besar, putih kecil, merah besar (beras merah), dan merah kecil.
Beras dari Wologai yang dikenal dengan beras ekoleta itu sudah terkenal di wilayah NTT, dan karena citarasanya yang khas, harganya pun relatif lebih mahal dibandingkan beras jenis lain, yakni antara Rp 7.000 per kilogram dan Rp 7.500 per kilogram di tingkat petani.
Warga Wologai sampai saat ini dapat menikmati kesejahteraan dari hasil panen padi sawah. Mereka juga hidup tenang dan aman dari bencana banjir dan longsor dengan model terasering yang diterapkan selama ini. Alam yang dijaga dengan baik akan memberi hasil yang baik pula bagi kehidupan warga sekitar. Sebaliknya, alam akan murka jika manusia mengeksploitasinya secara serampangan....
Harap maklum. Ketika kemarau, umumnya karakter tanah di daerah dengan kemiringan tertentu mengering. Butiran tanah lepas dan tanah-tanah merekah. Akibatnya, begitu musim hujan datang, air hujan yang mengguyur sering kali membuat tebing-tebing runtuh, dan terjadilah banjir dan longsor.
Ancaman erosi ini bukan hanya mengancam sumber pangan dan kekayaan alam, melainkan juga keselamatan manusia. Itu sebabnya, guna mencegah erosi, terutama di daerah dengan kemiringan tertentu atau daerah yang punya aliran sungai, penduduk umumnya mengonservasi tanah dengan sistem terasering.
Model persawahan terasering di Flores antara lain dapat dijumpai di Desa Waturaka, Kecamatan Kelimutu, Kabupaten Ende, sekitar 45 kilometer dari kota Ende. Persawahan terasering mudah dijumpai di Kabupaten Ngada, Manggarai, Mbay, dan Nagekeo, semuanya di Pulau Flores.
Terasering merupakan bangunan konservasi tanah, teras-teras yang dibuat sejajar dengan garis kontur alam yang dilengkapi dengan saluran peresapan, saluran pembuangan air, dan tanaman penguat teras yang berfungsi sebagai pengendali erosi.
Dengan panorama sangat indah, hawa sejuk, dan udara yang bersih, tanaman padi yang menghijau tumbuh subur di sana bersanding dengan beberapa pohon kelapa yang menjulang. Demikian juga sejumlah lahan bisa ditanami sayur, termasuk tomat. Padi sawah di Waturaka itu tertata rapi berhektar-hektar dalam sistem terasering bertingkat-tingkat.
”Alam seperti di Flores yang berbukit-bukit dan curam, dengan tingkat kemiringan 45-65 derajat, memang yang cocok dengan pertanian model persawahan terasering,” kata mantan Kepala Dinas Pertanian Sikka Viator Parera.
Terasering yang menonjol dapat dijumpai di Ende, Ngada, atau Manggarai. Di kawasan Waturaka dapat pula dijumpai model terasering di Desa Wologai, Kecamatan Detusoko, Ende.
Luas tanaman padi sawah di desa ini mencapai 120 hektar, yang seluruhnya dibuat dengan sistem terasering. Bentuk persawahan semacam ini untuk ukuran desa tergolong paling luas di Ende, yang mempunyai total areal padi sawah 6.000 hektar.
Sekitar 60 persen areal tanaman sawah di Ende dibuka di tanah datar, sebagian besar terletak di Kecamatan Wewaria, Maurole, Maukaro, dan Kotabaru. Adapun sawah model terasering sekitar 40 persen di antaranya terdapat di Kecamatan Detusoko, Kelimutu, Detukeli, dan Ndona Timur.
”Sawah dengan terasering di desa ini sudah dibuka sekitar tahun 1955 pada masa Raja Lio dan tetap dipertahankan sampai kini dengan ditanami padi lokal Mbongawani Ekoleta,” kata Kepala Desa Wologai Blasius Don Bosco Satu.
Blasius menceritakan, awal mula dibuka persawahan di Wologai atas permintaan Raja Lio karena daerah tersebut memiliki tanah yang subur, banyak sungai, dan iklim yang cocok untuk padi sawah.
Berhubung daerah ini terletak di dataran tinggi, sebagai penahan air dibuatlah terasering. Titik tertinggi terasering di Wologai dibuat antara 800 meter dan 906 meter di atas permukaan laut. Awalnya, pembuatan terasering dengan alat yang sederhana, yaitu menggunakan tofa (semacam linggis) yang terbuat dari kayu.
Penduduk Desa Wologai yang berjumlah 749 jiwa dari 220 keluarga mayoritas adalah petani, yang terdiri dari 8 kelompok dengan anggota 141 orang.
Sampai saat ini, penduduk Wologai tetap mempertahankan budidaya padi sawah karena mereka juga mempertimbangkan aspek kelestarian alam.
Sebetulnya mereka amat memungkinkan beralih ke komoditas lain, seperti tanaman hortikultura atau tanaman perdagangan. Namun, yang dikhawatirkan, dari kondisi tanah sawah yang berlumpur, jika budidaya berganti dengan tanaman perdagangan, maka begitu masuk musim kemarau tanah akan kering dan merekah. Ketika hujan datang longsor pun mengancam.
Dengan budidaya padi sawah, tanah akan selalu basah karena senantiasa dialiri air, dan terasering turut menekan limpasan air dari gunung ke hilir. Budidaya padi sawah yang masih tetap lestari juga tak lepas dari masih taatnya masyarakat pada adat. Ketika mosalaki (tetua adat) mengawali menanam padi lewat upacara adat Paki Tana, semua masyarakat akan menurut. Begitu pula di kala panen, mosalaki akan mengawali lebih dulu.
Kepala Bidang Konservasi Sumber Daya Alam Produksi Tanaman Pangan dan Hortikultura, Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Peternakan Kabupaten Ende, Karel Kabesa Raya, mengatakan, dalam pertanian lahan kering dan basah mutlak dilakukan konservasi tanah dan air, salah satunya dengan terasering.
”Apalagi seperti di Ende yang banyak daerah kemiringan, semakin terjal, teraseringnya juga makin tinggi. Terasering selain berguna untuk mencegah erosi juga menyiapkan media tanam,” kata Karel.
Padi sawah dengan model terasering juga dapat dijumpai di sejumlah titik di wilayah Kabupaten Ngada, Flores, antara lain di Desa Nabelena, Kecamatan Bajawa Utara. Total padi sawah di Ngada sekitar 5.000 hektar.
Menurut Kepala Dinas Pertanian Perkebunan dan Peternakan Kabupaten Ngada Laurensius Ngiso Godja, terasering banyak dibuat di Kecamatan Golewa. Arealnya mencapai 400 hektar sebab di daerah itu tersedia cukup air meski berada di kemiringan. Memang ada pula di tempat lain, seperti Riung, Soa, dan Bajawa Utara, tapi tidak seluas yang di Golewa,” kata Laurensius.
Sementara itu, Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Manggarai Vinsen Marung mengemukakan, penerapan terasering di Manggarai difokuskan pada lahan untuk pengembangan tanaman sayur dan buah-buahan atau hortikultura.
Kepala Desa Wologai Blasius Don Bosco Satu juga mengungkapkan, selama di desa itu menerapkan terasering, sampai saat ini masyarakat setempat dapat terhindar dari bencana banjir dan longsor.
Mereka panen padi dua kali setahun, yakni pada bulan Desember-Februari dan bulan Juli-Agustus. Tingkat produksi rata-rata 6,3 ton per hektar. Masa panen padi lokal jenis ini memang relatif lama, yakni 5-6 bulan. Ada empat macam varietas Mbongawani Ekoleta, yakni yang putih besar, putih kecil, merah besar (beras merah), dan merah kecil.
Beras dari Wologai yang dikenal dengan beras ekoleta itu sudah terkenal di wilayah NTT, dan karena citarasanya yang khas, harganya pun relatif lebih mahal dibandingkan beras jenis lain, yakni antara Rp 7.000 per kilogram dan Rp 7.500 per kilogram di tingkat petani.
Warga Wologai sampai saat ini dapat menikmati kesejahteraan dari hasil panen padi sawah. Mereka juga hidup tenang dan aman dari bencana banjir dan longsor dengan model terasering yang diterapkan selama ini. Alam yang dijaga dengan baik akan memberi hasil yang baik pula bagi kehidupan warga sekitar. Sebaliknya, alam akan murka jika manusia mengeksploitasinya secara serampangan....
Penanaman pada terasering dilakukan dengan membuat
teras-teras yang dilakukan untuk mengurangi panjang lereng dan menahan atau
memperkecil aliran permukaan agar air dapat meresap ke dalam tanah. Jenis
terasering antara lain teras datar, teras kredit, Teras Guludan, dan teras
bangku.
Jadi secara
garis besar terasering adalah kondisi lereng yang dibuat bertangga
tangga yang dapat digunakan pada timbunan atau galian yang tinggi dan
berfungsi untuk:
- Menambah stabilitas lereng
- Memudahkan dalam perawatan (Konservasi Lereng)
- Memperpanjang daerah resapan air
- Memperpendek panjang lereng dan atau memperkecil kemiringan lereng
- Mengurangi kecepatan aliran permukaan (run off)
- Dapat digunakan untuk landscaping
Teras Datar (level terrace)
Teras datar dibuat pada tanah dengan kemiringan kurang dari 3
% dengan tujuan memperbaiki pengaliran air dan pembasahan tanah. Teras
datar dibuat dengan jalan menggali tanah menurut garis tinggi dan tanah
galiannnya ditimbunkan ke tepi luar, sehingga air dapat tertahan dan
terkumpul. Pematang yang terjadi ditanami dengan rumput.
Teras Kridit (ridge terrace)
Teras kridit dibuat pada tanah yang landai dengan kemiringan
3 - 10 %, bertujuan untuk mempertahankan kesuburan tanah. Pembuatan teras
kridit di mulai dengan membuat jalur penguat teras sejajar garis tinggi dan
ditanami dengan tanaman seperti caliandra.
Teras Guludan (cotour terrace)
Teras guludan dibuat pada tanah yang mempunyai kemiringan 10
- 50 % dan bertujuan untuk mencegah hilangnya lapisan tanah
Teras Bangku (bench terrace)
Teras bangku dibuat pada lahan dengan kelerengan 10 - 30 %
dan bertujuan untuk mencegah erosi pada lereng yang ditanami palawija
Teras Individu
Teras
individu dibuat pada lahan dengan kemiringan lereng antara 30 – 50 % yang
direncanakan untuk areal penanaman tanaman perkebunan di daerah yang curah
hujannya terbatas dan penutupan tanahnya cukup baik sehingga memungkinkan
pembuatan teras individu.
Teras Kebun
Teras
kebun dibuat pada lahan-lahan dengan kemiringan lereng antara 30 – 50 % yang
direncanakan untuk areal penanaman jenis tanaman perkebunan. Pembuatan teras
hanya dilakukan pada jalur tanaman sehingga pada areal tersebut terdapat lahan
yang tidak diteras dan biasanya ditutup oleh vegetasi penutup tanah. Ukuran
lebar jalur teras dan jarak antar jalur teras disesuaikan dengan jenis
komoditas. Dalam pembuatan teras kebun, lahan yang terletak di antara dua teras
yang berdampingan dibiarkan tidak diolah.
Teras Saluran
Teras
saluran atau lebih dikenal dengan rorak atau parit buntu adalah teknik
konservasi tanah dan air berupa pembuatan lubang-lubang buntu yang dibuat untuk
meresapkan air ke dalam tanah serta menampung sedimen-sedimen dari bidang
olah.
Teras Batu
adalah
penggunaan batu untuk membuat dinding dengan jarak yang sesuai di sepanjang
garis kontur pada lahan miring